No comments yet

Sekolah Sore: Analisis Sosial, Keberpihakan, dan Identifikasi Akar Masalah Sosial

Bangku perkuliahan saat ini tidak banyak memberikan ruang belajar bagi mahasiswa untuk mengenal dan memahami secara utuh situasi, dinamika, dan ragam permasalahan sosial yang ada di sekitarnya. Jargon mahasiswa sebagai agen perubahan perlu terus dipertanyakan, disaat banyak perguruan tinggi semakin tercerabut dan berjarak dengan persoalan sosial di masyarakat.

Pernyataan di atas muncul dan menjadi diskusi pembuka kelas analisis sosial di Sekolah Sore Infest (20/11/17). AB. Widyanta, selaku pengajar kelas analisis sosial mengapresiasi para peserta yang antusias mengikuti ruang belajar alternatif berupa program Sekolah Sore yang digelar Infest hingga Januari 2018. Secara sistematis AB. Widyanta memaparkan apa itu analisis?, apa itu sosial?, apa itu analisis sosial?, ciri-ciri dasar, elemen-elemen penting, manfaat, limitasi atau keterbatasan, hingga metode penerapan analisis sosial untuk mengurai pelbagai persoalan di masyarakat.

“Stimmung (dalam istilah Heidegger) atau gerak hati berupa keresahan dan cara pandang kritis menjadi modal dasar bagi pegiat sosial untuk menganalisis situasi sosial di masyarakat, karena hal-hal yang sifatnya anggapan umum (common sense) kerap generalisir dan hanya ada di puncak gunung es permasalahan sosial di masyarakat. Sebagai contoh, anggapan umum bahwa Jogja adalah kota pelajar yang aman, yang ramah, yang guyub rukun damai sentosa, dan lain-lain, namun ketika ditelisik lebih dalam juga menyimpan pelbagai persoalan dari klitih, konflik lahan, hingga kemiskinan. Maka, analisis sosial bisa digunakan sebagai alat untuk menelisik akar dari pelbagai persoalan tersebut,” papar AB. Widyanta.

Selain pemaparan materi, paserta kelas belajar analisis sosial turut menyemarakkan diskusi dengan memaparkan ragam contoh baik pengalaman maupun contoh kasus yang mereka temukan saat berinteraksi dengan masyarakat. Krisna (34), salah satu peserta Sekolah Sore memaparkan situasi dilematis saat menjadi mediator antara masyarakat dan pemerintah terkait kasus sengketa lahan.

“Perlu diingat bahwa analisis sosial itu tidak bebas nilai, dia harus berpihak, di konteks kita sebagai mahasiswa dan pegiat sosial maka melekat tanggungjawab (responsibility) untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial masyarakat, apabila dua hal tersebut diusik dan diciderai oleh kekuasaan atau kepentingan kapital, maka keberpihakan pada masyarakat yang direnggut hak-haknya harus jelas.” tegas AB. Widyanta.

Pemahaman tentang konteks, kaya akan perspektif, serta bekal pengetahuan, akan menjadi modal bagi pegiat sosial untuk ikut berperan dalam mengurai persoalan sosial yang ada di masyarakat. AB. Widyanta menutup sesi dengan menegaskan kembali falsafah jawa “diwulang kahanan” atau belajar dari situasi sebagai cara bagi para pegiat sosial untuk menempa diri dan menjadi bagian dari agen perubahan di lingkungan sekitarnya.

“Perubahan tidak harus makro, namun dari perubahan mikro, sedikit demi sedikit kita bisa berpartisipasi mengurai problematika sosial di masyarakat, mulai sekarang hindari melakukan pekerjaan yang hanya berorientasi pada pencapaian keluaran (output) semata, kerja sosial harus bergerak untuk mencapai perubahan, sederhananya jangan hanya jadi event organizer (eo), bekerja dari satu kegiatan ke kegiatan lain, tanpa mengukur capaian perubahan.” pungkas Muhammad Irsyadul Ibad, Direktur Infest menutup sesi kelas analisis sosial.

======================

Slide Presentasi: 

 

Unduh KLIK DISINI

================

Post a comment

You must be logged in to post a comment.