1

Open Source: Tingkatkan Kualitas Pendidikan di Yogyakarta

Ilustrasi FOSS atau linux (sumber: http://julianacamposjuly.blogspot.com)

Ilustrasi FOSS atau linux (sumber: http://julianacamposjuly.blogspot.com)

Ada topik perbincangan menarik ketika Mohammad Hasim, Pegawai Balai Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kementerian Agama Semarang berdiskusi dengan pegiat di kantor Infest (24/09/12). Mohammad Hasim menemukan website infest melalui pencarian Google dengan kata kunci “Kualitas Pendidikan di Yogyakarta”. Ia kemudian memutuskan  berkunjung ke kantor Infest di Jalan Veteran 11A Pandeyan, Umbulharjo, Kota Yogyakarta.

Alih-alih sekadar berkunjung untuk melengkapi data penelitian “Buku Ajar Pendidikan Agama Islam di DIY”, Ia justru terlibat diskusi penggunaan sistem operasi berbasis open source di dunia pendidikan bersama pegiat infest.

“Selama ini belum ada kegiatan infest yang secara langsung fokus pada pendidikan di Yogyakarta, namun kami mulai merencanakan kampanye penggunaan sistem operasi berbasis open source untuk dunia pendidikan, saat ini kampanye baru dilakukan di kantor-kantor pemerintahan Kota Yogyakarta.” tutur Fathulloh, pegiat infest saat ditanya kegiatan Infest terkait isu dunia pendidikan di Yogyakarta.

Sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan di Yogyakarta telah lama marak mengadaptasi pelbagai bentuk atau produk teknologi informasi dan komunikasi (TIK). TIK selain dihadirkan sebagai bagian dari kurikulum, juga banyak dijadikan alat pendukung proses belajar mengajar. Namun sayang, disadari atau tidak sebagian besar sekolah masih menggunakan produk perangkat lunak (software) berbayar. Akibat keterbatasan dana belanja perangkat lunak, sangat banyak sekolah yang menggunakan perangkat lunak bajakan.

Pada dasarnya membajak adalah mencuri, aksi pencurian adalah tindakan kriminal dan kaidah ini juga berlaku bagi aksi pembajakan perangkat lunak. Tindakan pembajakan di lembaga pendidikan, seperti sekolah adalah tragedi dunia pendidikan. Apapun alasannya, pembajakan merupakan tindakan kriminal dan pelanggaran hukum.

“Terlebih lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama, bukankah agama juga mengajarkan moral berupa larangan mencuri, lantas mengapa sekolah atau madrasah-madrasah harus mencuri software untuk mengajarkan TIK?, padahal ada software yang free dan open source,” tutur Fathulloh pada Mohammad Hasim.

Satu-satunya jalan keluar adalah menggunakan platform perangkat lunak bebas dan sumber terbuka (Free and Open Source Sofware/FOSS) bagi pendidikan TIK di Indonesia. Selain FOSS bebas digunakan dan didistribusikan secara gratis, keberadaan sumber kode terbuka dapat menjadi ruang bagi para pelajar Indonesia untuk mengembangkan TIK lebih dari sekadar menjadi pengguna. Dengan FOSS, siswa atau pelajar bahkan bisa menjadi seorang pengembang.

Pada konteks Yogyakarta misalnya, terdapat sumber daya manusia yang cukup besar di bidang TIK. Data Direktorat Pembinaan Sekolah Kejuruan Kementerian Pendidikan (http://datapokok.ditpsmk.net) mencatat ada 84 SMK yang memiliki jurusan TIK. Artinya terdapat ribuan pelajar atau siswa yang berpeluang menjadi pengembang dan melahirkan pelbagai produk perangkat lunak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Peluang ini mampu menjadi salah satu alat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Yogyakarta.

Namun sekali lagi, bayangan ideal tersebut hanya bisa diwujudkan jika dunia pendidikan di Indonesia “bertobat” dari prilaku membajak dan beralih ke penggunaan FOSS. MoU Menteri Pendidikan dengan satu platform perangkat lunak berbayar seperti Microsoft pada 5 Mei 2011 jelas menjadi kado pahit bagi dunia pendidikan di Indonesia.

“Karena tak mampu membeli, orang akan membajak, padahal Indonesia mendapat ranking pembajak nomor dua sedunia. Ironisnya, pembajakan software ini dilakukan oleh pemerintah, penegak hukum, akademisi, mahasiswa atau pelajar, pengajar, dan warga. Lama-kelamaan, tindak pencurian dan korupsi dianggap biasa. Apa akan seperti ini wajah Indonesia di masa depan? Bahaya, kan!” ungkap Djati, Direktur Politeknik Pratama Banyumas di sebuah media massa saat mengomentari pendidikan TIK di Indonesia (27/08/12).

Meski dipastikan salah sasaran ketika mencari data penelitian “Buku Ajar Pendidikan Agama Islam di DIY” dari kantor infest, Mohammad Hasim menyatakan ada banyak pengetahuan baru yang ia peroleh dari diskusi bersama pegiat Infest, khususnya terkait TIK di dunia pendidikan. FOSS sebagai bagian dari TIK bagaimanapun wajib diakomodir dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Puluhan tahun yang lalu, Ki Hajar Dewantara telah berpesan kepada Anak Bangsa Indonesia untuk membangun sistem pendidikan yang sesuai dengan karakter bangsa. Bukan mengagung-agungkan konsep pendidikan negara barat yang cenderung eksploitatif dan berorientasi pasar. Lantas masihkah lembaga pendidikan kita berkeraskepala untuk menggunakan atau membajak software-software berbayar, jika sudah ada FOSS. {FT}

dengan total ribuan siswa

Comment(1)

  1. STEMPEL PRANA says

    dunia pendidikan di Indonesia mungkin terllihat sering melahirkan para pembajak,kemungkinan ini dari faktor pendidik yang tidak fokus pada mendidik tapi hanya pada mengajar saja dan mengejar target untuk kenaikan pangkat/gaji sehingga cara2 yang instan adalah jalan yang dianggap baik dan murah untuk mencapai suatu maksud diantaranya pembajakan,karena pembajakan menghasilkan output yang murah dan banyak diminati kalangan menengah ke bawah karena lebih murah.hal ini juga terkait dengan kurangnya dukungan pemerintah dalam meningkatkan kualitas dunia pendidikan di Indonesia terutama sektor anggaran, terutama sekali bidang2 penelitian sehingga cara2 yang mudah dan murah adalah hal yang terbaik untuk menutupi kekurangan terutama bidang anggaran

Post a comment

You must be logged in to post a comment.