“Saya berangkat bekerja ke Singapura saat usia saya 16 tahun. Tabungan selama satu setengah tahun bekerja saya kirim ke rumah dengan pesan untuk membiayai perawatan nenek dan sebagiannya untuk renovasi rumah. Namun, saat pulang, semuanya tidak ada yang tersisa.”
Sambil berkaca-kaca, Sulianik, pegiat komunitas pekerja migran Indonesia (KOPI) Desa Gogodeso, Blitar mengisahkan pengalamannya bekerja di Singapura. Anik, begitu panggilan akrabnya, mengisahkan pengalamannya bekerja ke Singapura setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saat itu tahun 1996, Anik bersama dua temannya berniat mendaftar kerja ke luar negeri melalui Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Blitar.
Tentu saja, keinginan Anik dan kedua temannya tak bisa dipenuhi. Saat itu usianya baru 16 tahun. Usia yang sebenarnya belum bisa memenuhi syarat untuk bekerja, apalagi menjadi pekerja migran Indonesia (PMI). Dorongan untuk membantu pengobatan dan renovasi rumah nenek menguatkan tekad Anik untuk bekerja ke luar negeri. Hingga kemudian, ia bertemu dengan seorang sponsor perusahaan penempatan di Blitar. Seluruh persyaratan kerja dibuat. Dalam dokumen diri, usia Anik diubah menjadi 18 tahun.
Anik pun mengikuti serangkaian pelatihan dan tinggal di penampungan hingga berangkat ke Singapura dengan kontrak kerja sebagai pengasuh anak. “Meski pekerjaan saya tidak sesuai dengan kontrak kerja, saya beruntung mendapatkan majikan yang baik,” ujar Anik.
Setelah bekerja satu tahun lebih itulah, Anik menerima surat dari tanah air. Surat dari sang Ayah, selain menanyakan kabar juga menanyakan kiriman uang. Karena tujuan bekerja Anik untuk membiayai pengobatan nenek, kakek, serta merenovasi rumah, seluruh uang tabungannya sejumlah lebih kurang 12 juta rupiah dikirimkan ke ayahnya. “Saat pulang, teman saya cerita, kalau uang yang pernah saya kirim itu tidak bersisa dan tidak digunakan untuk merenovasi rumah. Bahkan, rumah kakek dan nenek sudah dijual,” kenang Anik.
Perencanaan Migrasi Aman
Kisah Sulianik yang terjadi 23 tahun lalu mungkin saja masih dialami oleh PMI sekarang ini. Pemalsuan dokumen data diri, pekerjaan yang tidak sesuai kontrak kerja, remitansi yang tidak dikelola dengan baik, hingga kasus kekerasan rentan dialami oleh PMI. Untuk itulah, perencanaan migrasi aman perlu dipahami oleh calon PMI dan keluarganya. Pada November 2021, Yayasan INFEST Yogyakarta menggelar pelatihan perencanaan migrasi aman dan literasi keuangan untuk calon pekerja migran dan keluarganya di Blitar dan Ponorogo. Forum ini juga melibatkan komunitas pekerja migran Indonesia dan pemerintah desa asal CPMI.
Bagi sebagian besar PMI, bekerja di luar negeri merupakan langkah temporer yang diambil untuk mengatasi problem ekonomi mereka di dalam negeri. Hal itu bisa saja terjadi ketika kondisi ekonomi negara asal secara struktural dan pribadi rumah tangga migran tidak mendukung. Kondisi ekonomi struktural mengindikasikan bahwa jumlah ketersediaan permintaan kerja tidak sebanding dengan penawaran kerja; upah minimum yang tidak sebanding dengan jenis pekerjaan dan kebutuhan hidup layak; dan perbedaan tingkat upah yang mencolok antara negara tujuan dan negara asal.
Dalam pelatihan di Blitar dan Ponorogo tersebut kondisi pribadi rumah tangga migran menjadi faktor pendorong utama. Dengan bekerja di luar negeri mereka berharap mendapatkan pendapatan yang lebih baik untuk pemenuhan hidup, peningkatan aset keluarga, pendidikan anak-anak, dan pengumpulan modal pasca migrasi. Tak sedikit pula ditemukan bahwa problem pada dimensi sosial dan kesehatan memotivasi PMI untuk bekerja ke luar negeri.
Agnes Subekti misalnya, calon PMI dari Kabupaten Blitar ini berencana kembali bekerja ke Hong Kong untuk membiayai pendidikan putrinya. Sebagai orang tua tunggal, Agnes bekerja di Hong Kong bisa mencukupi kebutuhan hidup yang semakin tinggi kendati sudah mempunyai usaha di rumah. Begitu pula dengan Anik yang memutuskan kembali bekerja ke Taiwan untuk membiayai pengobatan anaknya.
Meskipun mereka memahami bahwa migrasi bersifat sementara, namun tak sedikit dari mereka mengabaikan perencanaan migrasi. Pada akhirnya, bekerja di luar negeri berlangsung tanpa target dan periode waktu yang jelas. Tak jarang, hal tersebut berkontribusi pada permasalahan PMI dan anggota keluarganya. Perencanaan migrasi membantu PMI dan anggota keluarganya tidak sebatas pada periode dan target migrasi, tapi juga memitigasi setiap kemungkinan risiko yang dialami oleh PMI.
Aspek Penting dalam Perencanaan Migrasi
Dalam struktur kebijakan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) telah memandatkan pemberian sosialisasi dan diseminasi informasi mengenai migrasi yang aman kepada PMI oleh seluruh level pemerintahan, dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan desa. Akan tetapi, materi muatan sosialisasi dan diseminasi informasi saat ini yang diberikan masih bersifat normatif. Hal itu dirasakan belum menjangkau pada aspek pribadi rumah tangga PMI.
Direktur Yayasan INFEST Yogyakarta, Irsyadul Ibad mengungkapkan aspek penting dalam perencanaan migrasi yang bisa dimulai sejak dari pra pemberangkatan, saat bekerja, hingga kembali ke tanah air. Pemahaman dan kesepakatan bersama antara CPMI dan keluarga perlu dibicarakan, seperti masa bekerja, pengelolaan keuangan, komunikasi, hingga soal pengasuhan anak.
Pemahaman soal risiko dan tantangan bekerja di negara tujuan juga perlu dipahami bersama keluarga, seperti beban kerja, risiko kecelakaan kerja, dan kesehatan mental. Bekerja di negara dengan kondisi sosial dan budaya yang berbeda dengan negara asal tentu bukan hal mudah. Masa adaptasi menjadi masa yang cukup krusial dan rentan. Pada saat-saat itu, PMI harus mulai mengenali jenis pekerjaan, berkomunikasi dengan menggunakan bahasa dan kebiasaan yang berbeda, dan mengenali lokasi dan kontak penting.
Peran pemerintah desa dan komunitas tak kalah penting dalam proses perencanaan migrasi. Selain mempunyai kewenangan untuk memberikan informasi permintaan pekerjaan, pelayanan pengurusan dokumen data diri, pencatatan, dan pemantauan keberangkatan hingga kepulangan, pemerintah desa mempunyai kewenangan untuk melakukan pemberdayaan bagi CPMI, PMI aktif, dan keluarganya.
Dalam pelatihan perencanaan migrasi aman dan literasi keuangan di Ponorogo pada 16 November 2021, Fera Nuraini purna pekerja migran di Hong Kong mengatakan bahwa selain keterampilan, seorang pekerja migran juga perlu menyiapkan mental. Tekanan kerja, lingkungan, dan bisa jadi tuntutan keluarga rentan mengancam kesehatan mental pekerja migran.
“Mengingat tujuan awal bekerja di luar negeri menjadi menjadi penguat. Kalau punya masalah jangan dipendam sendiri,” ujar Fera.
Meskipun telah bekerja di luar negeri tidak menutup kesempatan bagi para PMI untuk terus mengembangkan diri. Sebab, menurut Fera, banyak teman-teman PMI yang meneruskan pendidikan sembari bekerja. Tidak sedikit pula yang mengikuti berbagai kursus untuk pengembangan diri. “Keterampilan itu bisa bermanfaat saat kita kembali ke tanah air,” ujar Fera.
Niat awal ini yang menjadi panduan bagi pekerja migran selama bekerja di luar negeri. Termasuk menjadi panduan dalam hubungan sosial dan pengelolaan keuangan. Untuk itu, dalam perencanaan migrasi juga perlu mempertimbangkan soal pengelolaan keuangan, seperti pencatatan pengeluaran, tabungan, dan rencana pasca migrasi. Jangan sampai, tujuan-tujuan penting untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan kesejahteraan justru berakhir pahit.