Desa tidak perlu takut untuk melakukan inovasi, selama hal tersebut tidak melanggar peraturan.
Kalimat tersebut menjadi salah satu kesimpulan dari diskusi terbuka yang diselenggarakan Infest Yogyakarta pada Sabtu (10/02/18) di Jogja National Museum (JNM). Diskusi yang bertema “Menerobos Keumuman: Inovasi Penguatan Desa dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan”, ini bagian dari rangkaian kegiatan Jagongan Media Rakyat (JMR 2018).
Diskusi terbuka yang difasilitasi oleh Irsyadul Ibad (Direktur Eksekutif Infest Yogyakarta), ini menghadirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang diwakili oleh Benidictus Siumlala MS (Beni) dari Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK. Selain KPK, hadir juga Simon Edward perwakilan dari Ditjen PKP Kemendesa PDT dan Transmigrasi Kemendagri, juga Irma Nurul Fastikah perwakilan dari Pemkab Wonosobo, Dulrohim sebagai Kades Ngadikerso di Kabupaten Wonosobo, serta Saptoyo, pewakilan dari Staf Ahli Bupati Gunung Kidul.
Open Data Keuangan Permudah Akses Masyarakat
“Open Data” bukan semata pengenalan sistem informasi, tetapi harus melalui sejumlah ragam kegiatan. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Infest Yogyakarta bersama dengan Pemkab Wonosobo. Mulai dari rangkaian kegiatan “Perencanaan Apresiatif Desa”, “Perbaikan Tata Kelola Pelayanan Informasi Desa”, “Penguatan Tata Kelola Keuangan Desa”, hingga “Open Data Keuangan Desa”.
Kabupaten Wonosobo menjadi daerah model percontohan data terbuka (open data) keuangan desa. Peluncuran Wonosobo sebagai daerah percontohan, secara resmi akan ditetapkan melalui acara “Peluncuran Kabupaten Wonosobo Sebagai Model Percontohan Open Data Keuangan Desa” sekaligus “Seminar Nasional Data Terbuka dan Partisipasi dalam Pembangunan Desa”. Acara yang diselenggarakan atas kerjasama Infest Yogyakarta dan Pemkab Wonosobo ini dilaksanakan di Pendopo Wonosobo, pada Selasa (18/7/17).
Menurut Kades Ngadikerso, Dulrohim, kini desanya sudah tidak lagi keliru dalam menhitung penganggaran. Hal ini terjadi setelah menerapkan open data keuangan desa dengan menggunakan aplikasi “mitradesa”. Begitupun proses evaluasi dan klarifikasi relatif lebih mudah, masyarakat desa lebih memahami bahwa dana tidak cukup besar jika dibagi dengan kebutuhan mereka.
“Desa kami membentuk tim dengan nama tim pemudah cara terdiri 21 personil relawan tanpa insentif dan memiliki inovasi untuk merubah desa. Saat menyusun APBDes, tim ini yang menyusup ke kegiatan-kegiatan warga yang sifatnya non formal,” jelas Dulrohim di depan seemua narasumber dan peserta diskusi.
Selain Kades Ngadikerso, perwakilan dari Pemkab Wonosobo Irma Nurul Fastikah juga mengungkapkan hal senada. Menurut Irma, dengan menerapkan open data keuangan desa, kini Pemdes bisa secara terbuka memperlihatkan data-data pengelolaan keuangan desanya kepada pengawas dana desa, termasuk kepada Polri yang datang meminta data.
“Kami sudah mengembangkan perencanaan apresiatif desa (PAD) dan warga terlibat dalam setiap tahapan pembagunan desa. Ini menjadi tanggungjawab bersama. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah media atua platform yang mendampingi, jangan sampai ada kecurigaan di antara kita. Kami saat ini menggunakan open data keuangan desa yang bisa diakses oleh siapapun. Jadi desa kini saling bersaing untuk menjadi yang terbaik dalam pengelolaan dana desa,” ungkap Irma.
Irma juga menegaskan bahwa, meskipun saat ini penerapan open data telah berjalan, namun proses yang cukup panjang. Penerapan open data yang dinisisiasi oleh Infest Yogyakarta juga tidak terlepas dari sejumlah tantangan, apalagi Pemdes sebelumnya telah menggunakan Sistem Keuangan Desa (Siskeudes). Sehingga dalam prosesnya juga pernah terjadi penolakan yang dilakukan oleh sejumlah desa. Namun open data melalui aplikasi “mitradesa” bukanlah sebuah perangkat yang tidak bisa diubah. Karena dalam pelaksanaannya, Pemkab Wonosobo dan Infest Yogyakarta sangat mengapresiasi setiap perubahan yang diusulkan sesuai usulan Pemkab dan Pemdes.
“Karena selama ini mereka memang menggunakan aplikasi Siskeudes. Sedangkam kami (Pemkab wonosobo) memiliki komitmen agar laproan semua desa dapat diakses bukan hanya pemerintah kabupaten dan desa, namun warga juga mampu mengaksesnya. Ternyata dengan open data keuangan melalui aplikasi mitradesa, kini warga mampu mengakses laporan keuangan desa,” jelas Irma.
Perbaiki Data Kemiskinan Melalui SID
Selain pembelajaran dari Wonosobo, pembelajaran penting lainnya juga bisa diketahui dari pemaparan Saptoyo, Staf Ahli Bupati Gunung Kidul. Salah satu pembelajaran yang disampaikan Saptoyo adalah penerapan Sistem Informasi Desa (SID) di Kabupaten Gunung Kidul. SID di Gunung Kidul dikembangkan oleh Combine Resource Institute (CRI).
Menurut Saptoyo, dalam perkembangan penerapan SID di desa-desa di Kabupaten Gunung Kidul sangat beragam. Hal ini karena kondisi sosial masing-masing desa berbeda. Ada yag prosesnya cepat, ada juga yang begitu lama. Namun dalam perkembangannya kini sudah ada kemajuan.
“ Terkait masalah kemisikinan, yang menjadi kesulitan adalah banyaknya program dari pemerintah yang belum tepat sasaran. Ada tumpang tindih data, contoh kartu jaminan yang double. Orang yang sudah meninggal masih muncul menjadi penerima program. Desa sebagai sumber data dan institusi tidak mempunyai data,” papar Saptoyo.
Saptoyo menambahkan, aliran dana ke desa semakin besar, tetapi desa tidak memiliki data sektoral untuk dasar perencanaan. Masing-masing kementerian punya program sendiri-sendiri dengan versi masing-masing. Ini belum terintegrasi. Salah satu yang tidak bisa dihitung di Gunung Kidul adalah pengeluaran yang dikeluarkan oleh rumah tangga untuk mengukur masyarakat itu miskin atau tidak. Padahal yang punya lahan banyak, panen juga disimpan, dan sayuran tersedia. Belanja untuk penegeluaran belum terhitung.
Peningkatan validasi data setiap tahun merupakan salah satu strategi penanggulangan kemiskinan. Integrasi program penanggulangan kemiskinan, setiap tahun mutaakhirkan agar tahu jika ada warga yang belum masuk ke data. Pengolahan data kemiskinan ini melalui SID.
Dengan adanya semua APH mengawasi dana desa. Ada sisi positif dan negatif. Dana desa bisa tepat sasaran. Tapi butuh formula yang tepat untuk pendampingan.
Inovasi Memunculkan Praktik Baik
Di kesempatan yang sama, perwakilan dari KPK dan Kemendagri mengapresiasi upaya desa-desa yang telah melakukan inovasi. Benidictus Siumlala MS (Beni) dari Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK, juga menegaskan agar Desa tak perlu takut dalam proses pengawasan penggunaan dana desa. Apalagi pengawawasan yang dilakukan oleh Polri. Terkait pengawasan dana desa yang dilakukan oleh Polri di tingkat desa, KPK menyarankan agar Pemdes tidak perlu khawatir. Alasannya karena sampai saat ini keterbatasan jumlah Babinkamtibmas di desa yang belum sebanding dengan jumlah desa di seluruh Indonesia. Hal yang juga penting adalah minimnya kapasitas Babinkamtibmas dalam mengawal pengelolaan dana desa.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Simon Edward perwakilan dari Ditjen PKP Kemendesa PDT dan Transmigrasi, Kemendagri. Masalah MOU Kemendes dengan Polri diharapkan menjadi penguatan literasi kepada aparat-aparat desa dalam meningkatkan pengetahuan. Masuk ke ranah pencegahan, bukan penanganan. Tidak ada yang perlu ditakutkan dalam pengawasan selama masih di dalam aturan.
Sementara menurut Irsyadul Ibad, sebagai fasilitator diskusi, inovasi yang telah dilakukan di Wonosobo maupun Gunung Kidul telah berhasil memunculkan praktik baik dan ragam pembelajaran. Hal positif tersebut perlu diapresiasi oleh pemerintah di pelbagai tingkat. Selain itu, pembelajaran tersebut perlu diarusutamakan sehingga bisa mendorong desa lain untuk belajar. Ragam pembelajaran tersebut juga perlu disampaikan kepada pengambil kebijakan di tingkat nasional untuk memberikan wawasan baru dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan desa. Jadi, desa tidak perlu takut berinovasi selama tidak melanggar peraturan. [Alimah]