Banjarnegara – Keberadaan Sekolah Perempuan di Desa Gumelem Kulon, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara, mampu meyakinkan Arif Machbub, lurah desa tersebut untuk lebih memfokuskan anggaran pada perbaikan fasilitas umum di kawasan perbukitan. “Menurut saya itu kunci suksesnya pembangunan desa ini,” kata dia kepada Tempo awal Desember lalu.
Bagi peminat wisata budaya, Gumelem Kulon sudah tak asing lagi. Desa ini terkenal memiliki kelompok perajin batik tulis khas Banjarnegara. Gumelem juga punya agenda tahunan, pergelaran Seni Tradisional Bareng Jazz bertajuk “Gumelem Etnic Carnival.” Meskipun bertabur potensi wisata, Arif mengaku sulit mengelola perekonomian desanya yang berpenduduk 10.414 orang. “Sekitar 2/3 wilayah Gumelem Kulon ada di perbukitan. Di sana ada ribuan warga miskin dengan fasilitas umum sangat minim.”
Namun berkat survei dari Sekolah Perempuan, Arif kini punya panduan yang jelas dalam membangun desa. Ia tak lagi berpedoman pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat, dari 2.845 keluarga di Gumelem Kulon, sekitar 1.008 berstatus miskin.
Survei Sekolah Perempuan justru menemukan ada 1.500-an keluarga miskin di Gumelem Kulon. Survei itu juga mencatat ada 40 persen warga Desa Gumelem Kulon berstatus miskin dan sangat miskin. Mayoritas mereka bermukim di kawasan lereng dan puncak bukit yang terisolasi oleh jalan dan jembatan rusak.
Dari survei itu juga, Arif memperoleh data baru: ada 60 difabel da 103 janda miskin yang memerlukan bantuan khusus di Desa Gumelem Kulon. Selama ini, kata dia tak adadata itu dalam arsip-arsip milik pemerintah. “Pantas, banyak yang protes soal pembagian raskin,” kata Arif.
Survei yang digelar sejak Oktober hingga awal Desember 2015 tersebut merupakan salah satu program Sekolah Perempuan di Gumelem Kulon. Ada 17 ibu rumah tangga yang mengikuti sekolah ini sejak Februari lalu inisiator pembentukan sekolah itu adalah para aktivis Infest, lembaga pendamping desa asal Yogyakarta.
Survei itu menanggalkan indikator kemiskinan milik BPS yang berjumlah 14 item. Para ibu Sekolah Perempuan Gumelem Kulon menggantinya dengan 28 indikator. “Survei BPS mengukur kondisi ekonomi d setiap rumah, tapi faktanya satu rumah bisa dihuni dua hingga empat keluarga,” kata Tursiyem, salah satu peserta sekolah.
Tursiyem mengimbuhkan, kini hasil survei itu sedang dalam tahap finalisasi untuk diolah menjadi data situasi penduduk terbaru di desanya. Mereka hanya dibayar Rp 1.000 untuk setiap data satu keluarga. “Total biaya survei Rp 10 jutaan, baru bisa ditutupi dengan anggaran desa pada 2016,” kata ibu rumah tangga 32 tahun itu.
Peserta Sekolah Perempuan, Lilis Yuniarti, menemukan mayoritas anak perempuan di sana hanya bersekolah sampai SMP. Kasus ini memicu bsarnya angka pernikahan dini. “Sebab kalau mau sekolah SMA harus turun bukit pakai ojek. Biayanya Rp 25 ribu sekali jalan,” kata dia.
Manajer Program Desa Infest Yogyakarta, Frisca Arita Nilawati berpendapat kunci keberhasilan implementasi Undang-Undang Desa ada pada penguatan partisipasi warga dan kalangan marginal. “Selama ini masalah pembangunan hanya milik elit lokal,” ucap dia.
Koran Tempo, 26 Desember 2015