Minimnya edukasi perlindungan buruh migran yang dilakukan oleh pemerintah daerah ke desa, berdampak pada ketiadaan regulasi, program, dan kegiatan pelayanan migrasi aman di desa.
Buruh Migran Indonesia (BMI) pada umumnya berasal dari desa. Idealnya, desa sudah mulai belajar bagaimana memberikan layanan migrasi aman, serta sekian upaya utuk melindungi warganya yang bekerja sebagai buruh migran. Sayangnya, sampai saat ini masih banyak desa dengan kantong buruh migran belum memiliki regulasi perlindungan buruh migran. Belum lagi standar opersional pelayanan (SOP) migrasi aman, tata kelola data yang buruk, hingga ketiadaan program perlindungan buruh migran.
Fakta minimnya upaya perlindungan buruh migran ini berdasarkan hasil need assessment (NA) atau peneraan yang dilakukan oleh Infest Yogyakarta, pada Senin-Jumat (19-23/02/18) di Enam Desa di Kabupaten Ponorogo. Awal tahun 2018 ini, Institute for Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest) memulai “Program Penguatan Perlindungan Buruh Migran di Negara Asal dan Negara Tujuan Penempatan.” Penggalian data dilakukan melalui pendekatan diskusi kelompok terfokus atau focused group discussion (FGD) serta analisa data, baik data jumlah purna buruh migran dan purna buruh migran, serta dokumen perencanaan pembangunan desa, mulai dari RPJMDesa, RKPDesa, dan APBDesa.
Ketiadaan Data, Regulasi, dan Program Perlindungan Buruh Migran
Berdasarkan hasil NA yang dilakukan di Enam Desa, Infest Yogyakarta menemukan fakta betapa masih minimnya edukasi tentang perlindungan buruh migran yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten (Pemkab) kepada Pemerintah Desa (Pemdes) maupun komunitas di desa. Minimnya edukasi ini, akhirnya berdampak pada ketiadaan regulasi yang mengatur perlindungan buruh migran di tingkat desa. Bukan hanya regulasi, dalam dokumen RPJMDesa juga tidak ada program perlindungan buruh migran maupun kegiatan di desa yang melakukan pelayanan informasi tentang migrasi aman.
Menurut Fera Nuraini, salah satu Tim Penera dari Infest Yogyakarta, semua Pemdes di Enam Desa lokasi peneraan mengaku tidak pernah mendapatkan sosialisasi maupun pelatihan dari Pemkab Ponorogo. Pemkab saat ini baru melakukan pendidikan untuk peningkatan ketrampilan yang bertujuan untuk pengembangan ekonomi. Misalnya bagaimana membuat sebuah produk serta memberikan alat-alatnya.
“Jadi kalau untuk memberikan layanan informasi terkait migrasi aman, maupun pendampingan buruh migran yang bermasalah, sampai saat ini belum di lakukan di tingkat desa. Kalaupun ada, sifatnya masih personal. Misalnya hanya dilakukan Kadesnya,” ungkap Fera.
Selain di Kabupaten Ponorogo, Infest Yogyakarta juga melakukan NA di Kabupaten Blitar dan Johor Bahru, Malaysia. “Program Penguatan Perlindungan Buruh Migran di Negara Asal dan Negara Tujuan Penempatan.” merupakan bagian dari kontribusi Infest Yogyakarta dalam memperkuat kualitas pembangunan di desa. Khususnya, pada isu pelindungan purna pekerja migran dan anggota keluarganya. Dalam pelaksanaan program ini, Infest Yogyakarta bekerjasama dengan AWO Internasional selama tiga tahun ke depan (2018 – 2020).
Program penguatan perlindungan buruh migran ini juga sebagai upaya membangun model untuk pelindungan pekerja migran dari hulu. Artinya, dalam hal ini peran desa sangat penting dalam perlindungan buruh migran. Sayangnya selama ini peran desa sering terabaikan, karena migrasi ketenagakerjaan dianggap bukan bagian dari kewenangannya. Akibatnya, desa belum dinilai sebagai pihak strategis dalam mengurai permasalahan pekerja migran. Di sisi lain, kesadaran akan masalah yang sebenarnya dialami pekerja migran tidak ternyatakan oleh pekerja migran. Hal ini karena keterbatasan pengetahuan hak, akses kepada lembaga peradilan dan dukungan komunitas yang fokus pada pelindungan pekerja migran.
Menurut Direktur Infest Yogyakarta, Irsyadul Ibad, melalui UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Desa sebenarnya memiliki potensi untuk meningkatkan perlindungan buruh migran dari hulu. Dengan adanya kewenangan berskala lokal desa yang beririsan dengan pelaksanaan pelindungan pekerja migran, yakni desa sebagai sumber layanan informasi, pendataan, penerimaan pengaduan masyarakat dan pemberdayaan. Meski demikian, harus kita yakini bahwa masih jarang desa yang memiliki inisiatif untuk meningkatkan pelayanan dan pelindungan bagi pekerja migran dan anggota keluarganya.[Alimah]