Roba’ik, seorang Kepala Dusun (Kadus) Wotgalar, Desa Jatilawang, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, mengaku resah menghadapi perubahan sikap warganya. Dia merasa warga di dusunnya sudah mulai tidak percaya lagi padanya. Ketidakpercayaan warga dusun tidak hanya terlihat dari protes terkait program bantuan tetapi juga menolak terlibat dalam kegiatan di dusun dan desa.
“Selain protes, warga juga sering menolak ketika ada kegiatan yang diadakan oleh Kadus,” terang Roba’ik.
Hal tersebut disebabkan bantuan untuk warga yang didasarkan pada data kemiskinan milik pemerintah pusat maupun kabupaten seringkali tidak sesuai dengan kondisi warga yang sebenarnya. Meskipun pemerintah desa telah melakukan perubahan data tiap tahunnya, namun hasilnya tetap sama. Kondisi ini menyebabkan ternjadinya konflik antar warga maupun protes warga kepada pemerintah desa.
Bahkan, kegiatan yang sudah diagendakan tidak jarang menjadi kacau karena warga tak mau terlibat. Hasil pendataan yang tidak valid dan tidak sesuai dengan kondisi warga, berimplikasi terhadap proses pembangunan di desa.
“Bahkan meskipun dari pihak pemerintah desa telah melakukan perbaikan, hasilnya tetap sama tidak ada perubahan. Yang menerima bantuan berdasarkan data lama, jadi orang-orang itu lagi yang mendapat bantuan. Padahal kondisinya telah berubah, apalagi data terakhir yang dipakai merupakan data tahun 2011,” ungkap Roba’ik.
Pentingnya Menyepakati Indikator Lokal
Selama ini data terpadu Indonesia dikelola oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data ini akan digunakan untuk program pemerintah seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Dalam proses pelatihan pemetaan kesejahteraan yang diselenggarakan Infest Yogyakarta di Desa Jatilawang pada Senin-Selasa (12-13/10/15), peserta tidak ragu-ragu mengungkapkan permasalahan di desanya. Difasilitasi oleh Frisca Arita Nilawati, Manajer Program Desa Infest Yogyakarta, mereka mengidentifikasi pendataan yang pernah dilakukan di desanya baik dilakukan oleh desa sendiri maupun lembaga supradesa.
Dalam proses pembelajaran tersebut, peserta mulai menyadari bahwa salah satu penyebab program bantuan tidak tepat sasaran bermula dari data. Bisa dibayangkan, bagaimana data berdasarkan standar nasional diterapkan di semua desa. Sementara ketika terjadi ketidaksesuaian, warga hanya mampu melakukan protes ke pemerintah desa. Padahal dari proses ini, pemerintah Desa Jatilawang mengaku telah melakukan pembaruan data. Artinya, desa tidak main-main.
Selama ini ketika ada pendataan, maka persepsi warga akan diberi bantuan. Sehingga pendataan apapun, akan diidentikkan dengan pemberian bantuan. Menurut Frisca, pemahaman ini kurang tepat karena berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah desa. Bahkan bisa mengarah pada konflik antar warga. Sehingga penting untuk memberikan pemahaman kepada warga. Selain itu, penting untuk melakukan pendataan yang partisipatif. Salah satunya pendataan berdasarkan indikator lokal yang disepakati bersama warga. Apalagi dengan adanya dana desa, data milik desa ini bisa menjadi dasar perencanaan desa. Sehingga, pembangunan desa bisa dimanfaatkan berdasarkan prioritas kebutuhan desa, inklusif, dan tepat sasaran.
Dalam proses pelatihan ini, peserta yang terdiri dari kelompok perempuan, perwakilan perangkat pemerintahan dan kelembagaan di desa, menyepakati 12 indikator utama. Indikator lokal tersebut terdiri dari indikator pendapatan, pekerjaan, kondisi rumah, lahan, tanggungan, kesehatan, ternak, air bersih, pendidikan, penerangan, kendaraan, dan perhiasan. Indikator utama ini akan disepakati lagi bersama warga dalam musyawarah desa (Musdes). Sehingga bisa jadi indikator tersebut bertambah atau berubah berdasarkan kesepakatan warga, hingga siap dilakukan sensus oleh tim sensus yang juga dipilih oleh warga dari warga. [Alimah]