Orang miskin ada karena ada orang yang kaya
Orang miskin ada karena dia malas
Orang miskin ada karena sudah keturunan
Orang miskin ada karena tidak ada lapangan kerja
…..dst
Kita akan menemukan beragam jawaban dalam menjawab “mengapa ada orang miskin?”. Kendati demikian, jawaban dengan menyalahkan manusianya masih merupakan jawaban paling banyak dibanding menyalahkan pemerintah atau kebijakan sebagai akar permasalahan di masyarakat. Begitu pun yang terjadi ketika para perempuan di desa Gentansari, Gumelem Kulon, dan Jatilawang secara bersama-sama menganalisa penyebab terjadinya kemiskinan di desanya. Para perempuan di Kabupaten Banjarnegara ini adalah mereka yang baru tergabung dalam organisasi perempuan di desanya. Seperti “Nirasari” di desa Gumelem Kulon, “Giri Tampomas” di desa Gentansari, serta “Raga Jambangan” di desa Jatilawang, tengah belajar bersama dengan Infest Yogyakarta tentang pengorganisasian komunitas, pada Jumat-Sabtu (13-14/5/16) lalu.
Mulai Mengenal Kesadaran Kritis
Awalnya, jarang yang melihat kemiskinan sebagai kesalahan kebijakan atau sistemnya. Hingga mereka mulai diperkenalkan dengan cara pandang kritis. Para perempuan ini pun secara pelahan mulai diajak berpikir dan berkesadaran kritis. Singkatnya, berawal dari cara pandang mereka dalam menjawab “mengapa ada orang miskin?” telah mengantarkannya pada teori 3 bentuk kesadaran, yaitu naif, kritis, dan magis yang merupakan hasil pemikiran Paulo Freire.
Bagi akademisi, Paulo Freire tentunya bukan sosok yang asing. Namun bagi para perempuan ini, Paulo Freire merupakan sosok asing dan baru saat itu mereka kenal. Proses bagaimana secara pelahan para perempuan ini memahami suatu persoalan secara kritis menjadi sesuatu yang penting. Pengalaman mereka sebagai anak perempuan, isteri, serta sebagai ibu dan perempuan dalam komunitasnya, membuat cara pandang mereka tidak terlepas dari refleksi tentang siapa diri mereka. Termasuk pertanyaan mereka mana yang harus didahulukan, apakah naif dulu, kritis dulu atau mungkin magis?.
Kesadaran magis adalah kesadaran yang melihat terjadinya suatu persoalan karena sesuatu di luar kekuatan manusia. Langkah yang diambil biasanya hanya mendoakan dan memberikan bantuan kebaikan. Sementara kesadaran naif yakni kesadaran yang lebih melihat “aspek manusia” sebagai akar permasalahan di masyarakat. Langkah yang diambil biasanya dengan menyalahkan orang yang punya masalah atau menyalahkan korbannya. Mengapa ada jurang pemisah yang lebar antara yang miskin dan kaya? Dalam kerangka kesadaran naif, hal ini karena kesalahan orang miskin itu sendiri yang bodoh dan malas bekerja. Orang dengan tipe kesadaran naif, bisa jadi juga tidak memahami kerangka sistem, tapi bedanya dengan kesadaran magis, dia selalu menimpakan setiap permasalahan ke persoalan pribadi.
Sedangkan kesadaran kritis, justru melihat kalau sistem dan strukturlah yang menjadi sumber masalah. Maka dalam pandangan ini, masyarakat harus dididik untuk menemukan keterkaitan antar setiap sistem, menemukan celanya, lalu berusaha membangun ruang baru yang lebih mengembangkan potensi masyarakat. Kesadaran ini, akan berusaha menghapuskan ketidakadilan dalam sistem. Sementara kesadaran magis, yakni suatu teori perubahan sosial yang tidak mampu mengetahui hubungan atau kaitan antara satu faktor dan faktor lainnya. Misalnya, seseorang yang memandang kemiskinan tanpa tahu menghubungkannya dengan faktor budaya ataupun politik. Kalau orang tersebut mencoba memecahkan masalah kemiskinan maka dia tidak akan melihatnya dalam kerangka system. Bahkan pemecahan masalahanya sering kali tidak memiliki keterkaitan langsung dengan permasalahan yang dihadapi ; akibat ketidakmampuannya menghubungkan satu factor dengan factor yang lain dalam kerangka sistem. Tanpa ada upaya untuk memahami benang merah dari setiap permasalahan, orang dengan tipe seperti ini cenderung dogmatik terhadap yang akan dikatakan kepadanya.
Peta paradigma yang dijelaskan oleh Freire, akan membentuk cara berpikir, cara menanggapi dan menyelesaikan masalah. Termasuk kebiasaan dalam penentuan visi dan misi sebuah organisasi, lahir dari salah satu model berpikir yang telah dijelaskan Paulo Freire ini.
Jangkau, Dampingi, dan Libatkan
Proses memahami cara pandang magis, naif, dan kritis akhirnya mengantarkan para perempuan ini tentang apa yang ingin mereka perjuangkan di organisasinya. Termasuk bagaimana melakukan pengorganisasian komunitasnya. Dalam proses ini, para perempuan ini juga kembali diajak memahami tentang pengorganisasian komunitas berdasarkan pengalamannya masing-masing. Sampai akhirnya sang fasilitator, Maesur Zaki, mulai memaparkan pengertian pengorganisasian komunitas secara lengkap. Yaitu, suatu proses yang dikerjakan secara sengaja, terukur dan terus menerus untuk memperjuangkan kepentingan bersama komunitas tertentu dalam masyarakat berbasis kekuatan bersama dengan mendorong terjadinya perubahan di tingkat komunitas, masyarakat maupun kebijakan.
Para perempuan yang baru tergabung dalam sebuah organisasi ini tidak puas hanya dengan memahami pengertian pengorganisasian masyarakat. Hingga tak sabar ingin mengetahui bagaimana cara melakukannya. Melalui proses analisa menyelesaikan persoalan, akhirnya membawa mereka pada tahap cara mengorganisir komunitas. Dimulai dari proses “menyatukan” dengan cara mengajak masyarakat, lalu “menggerakkan” dengan mengadakan pertemuan atau kegiatan di desa, lalu “memusyawarahkan” atau menyepakati secara bersama-sama, hingga terjadi perubahan dalam bentuk kebijakan atau aturan yang kemudian membentuk sistem. Adapun teknik pengorganisasiannya di antaranya dimulai dengan menjangkau, mendampingi dan mengajak masyarakat, serta melibatkan masyarakat itu sendiri hingga terjadi perubahan yang diinginkan bersama. Karena inti dari pengorganisasian adalah perubahan itu sendiri.
Mengawal Isu Penting
Dari proses tersebut, para perempuan ini kemudian sudah mulai berpikir dan merencanakan tentang apa yang sebenarnya ingin mereka perjuangkan. Atau setidaknya, dalam satu tahun ini isu apa yang ingin mereka kawal. Setiap desa memiliki isu pentingnya sendiri. Meskipun ada beberapa isu yang sama pentingnya untuk segera dikawal. Yaitu isu tentang rendahnya pendidikan dan maraknya pernikahan dini.
“Kami ingin memperjuangkan nasib para Penderes dan keluarganya agar mendapatkan perhatian dari pemerintah, salah satunya untuk jaminan kesehatan mereka,” demikian ibu Tursiyem, Ketua Organisasi Perempuan Nirasari, desa Gumelem Kulon pernah mengungkapkan kegelisahannya tentang nasib para Penderes di desanya.
Beberapa kali melakukan pemetaan sosial telah memberikan pengalaman tersendiri bagi para perempuan di desa. Salah satunya di Gumelem Kulon seperti yang dilakukan oleh ibu Tursiyem dan perempuan Gumelem Kulon lainnya. Dimulai dari pemetaan aset dan potensi, kesejahteraan berdasarkan indikator lokal, survei perbaikan layanan publik, hingga penggalian usulan kelompok marginal.
Pengalaman melakukan pemetaan tidak sekadar mengetahui berapa banyak aset dan potensi yang dimiliki desanya. Namun lebih dari itu adalah pengalamannya sebagai ibu rumah tangga yang selama ini lebih banyak diam di rumah dan di dusunnya, kini benar-benar mengetahui bagaimana kondisi masyarakat di semua dusun yang ada di desa Gumelem Kulon. Termasuk kondisi para penderes dan keluarganya yang masih sangat memprihatinkan.
Penderes adalah profesi yang banyak digeluti warga di desa Gumelem Kulon. Profesi yang retan kecelakaan ini bahkan sering memakan korban hingga meninggal dunia maupun cacat fisik. Berdasarkan pemetaan kesejahteraan berdasarkan indikator lokal yang dilakukan kelompok perempuan di Gumelem Kulon, kini pemerintah desa (Pemdes) telah mengetahui berapa jumah para penderes di desanya serta bagaimana kondisi mereka.
Dengan memanfaatkan hasil pendataan kelompok perempuan, pemerintah desa (Pemdes) Gumelem Kulon bersama kelompok perempuan mulai memperjuangkan agar para Penders dan keluarganya menerima jaminan sosial di bidang kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Berdasarkan pendataan kesejahteraan yang dilakukan kelompok perempuan pada tahun 2015, kini Pemdes menginisiasi terbentuknya Asosiasi Penderes di desanya dan sedang dalam proses memperjuangkan nasib mereka agar menjadi penerima manfaat dari program JKN. Begitu pun dengan para perempuan di desa Gentansari dan Jatilawang, sudah mulai menentukan isu penting di desanya yang akan dikawal oleh organisasi peremmpuan di desanya.
Kendati demikian proses penyadaran dengan memperkenalkan cara pandang kritis ini, hanya langkah awal bagi para perempuan di desa sebelum mengorganisir komunitasnya melalui organisasi perempuan di desanya. Sehingga masih memerlukan rangkaian proses belajar lainnya dalam mengelola organisasi. [Alimah]