Informasi merupakan sesuatu yang vital. Bagi pemegang kebijakan, ketepatan informasi menjadi kunci dalam pengambilan keputusan. Pun bagi warga. Dalam konteks publik, informasi menjadi sebuah bentuk pelayanan kepada warga. Negara telah mengakui pentingnya keterbukaan informasi melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Melalui UU yang terdiri dari 64 pasal ini, seluruh badan publik wajib membuka akses informasi, kecuali informasi tertentu. Dalam pengertian badan publik, desa termasuk di dalamnya.
Tema tentang KIP menjadi bahasan utama dalam Pelatihan Keterbukaan Informasi Publik dan Jurnalisme Warga di Kabupaten Malang, (7-9/6/2015). Pelatihan ini diikuti oleh para kader Pembaharu Desa dari tiga desa di Kabupaten Malang yakni Desa Jambearjo, Desa Tunjungtirto, dan Desa Kucur. Kader pembaharu desa terdiri dari perangkat, kader dan warga.
Mengenal prinsip dan jenis informasi publik
Pada sesi awal, M. Irsyadul Ibad yang menjadi fasilitator memantik para peserta untuk mengenali dasar-dasar informasi hingga jenis-jenis informasi publik. Menurutnya, ketersediaan dan ketepatan informasi mampu menghasilkan keputusan yang tepat. Kebalikannya, ketiadaan informasi menimbulan kebingungan bahkan korban. Ia mencontohkan persitiwa gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta pada 2006. Kesimpangsiuran informasi tentang dampak gempa membuat warga panik.
Untuk itulah, penalaran terhadap informasi perlu didudukkan. Informasi tidak berasal dari kasak-kusuk, gosip, atau ramalan. Informasi berawal dari sebuah peristiwa nyata atau faktual, yang diamati, dicatat, diolah, dan disampaikan.
“Syarat Informasi itu ada, sesuai kebutuhan dan tepat,” terang Ibad.
Lantas, apa itu informasi publik?
Informasi publik berhubungan dengan badan publik. Lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, badan penyelenggaran negara, dan lemebaga-lembaga yang pendanaannya besumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD), Daerah (APBD), sumbangan masyarakat, bantuan luar negeri. Berdasarkan pengertian itulah, desa termasuk dalam kategori badan publik.
Prinsip KIP bersifat terbuka, dapat dan mudah diakses dengan cepat, dan dengan prosedur yang sederhana. Sementara, jenis-jenis informasi publik dibedakan menjadi empat jenis, antara lain:
1. Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala
2. Informasi yang wajib diumumkan serta merta
3. Informasi yang yang wajib tersedia setiap saat
4. Informasi yang dikecualikan
“UU No 14/2008 adalah bentuk pengakuan negara atas ketersediaan, pemanfaatan, dan penyebarluasan informasi berdasarkan konstitusi,” terang Ibad.
Untuk itulah, KIP selayaknyaa dipamahi sebagai sebuah pelayanan. Artinya, pelayanan dilakukan secara sadar, terencana, fokus dan ada yang menangani. Yulianti, selaku kader Pembaharu Desa sekaligus Sekretaris Desa Tunjungtirto mengungkapkan minimnya pengetahuan perangkat desa tentang keterbukaan informasi. Hal senada juga diungkapkan oleh Abdul Karim selaku Kepala Desa Kucur. Menurut Karim, ia pun baru mengetahui adanya UU KIP sejak 2008.
“Sebelumnya desa belum pernah mendapatkan pengetahuan tentang prosedur keterbukaan termasuk jenis-jenis informasi yang disampaikan,” terang Karim.
Praktik-praktik keterbukaan informasi di desa biasanya dilakukan melalui musyawarah desa atau menempelkan pengumuman di papan informasi. Hanya saja, menurut Yulianti, ia selaku Sekretaris Desa belum mengetahui jenis-jenis dan dalam bentuk apa saja informasi bisa disampaikan. Tantangan di desa, informasi dikuasai oleh orang-orang tertentu dan belum terdokumentasi dengan baik.
Pada pelatihan kali ini, para kader pembaharu desa mulai mengidentifikasi jenis-jenis informasi yang ada di desa. Mereka membedakan jenis informasi dalam dua hal, dikuasai dan tersedia serta dikuasai tetapi belum tersedia. Data-data tentang desa kemudian ditata berdasarkan jenis, penanggunjawab, dan kategori berkala, serta merta, tersedia setiap saat atau dikecualikan.
Kalau supra desa belum bisa menunjukkan keterbukaan informasi sbg sebuah pelayanan. Beranikah desa menjadi contohnya?