Tanah memiliki nilai strategis dan terkait dengan banyak kepentingan. Kepengaturan tentang tanah berimplikasi luas terhadap aspek kehidupan. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta (UUK) salah satu kewenangan adalah kewenangan pertanahan. Pada 2014, pemerintah provinsi DIY menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) DIY No 112 Tahun 2014 tentang Pemanfaatan Tanah Desa. Dalam Pergub tersebut, pasal 13, diatur secara khusus tentang pemanfaatan bengkok/lungguh, dimana kedudukan, fungsi, dan pengelolaannya tidak berubah, yakni sebagai salah satu sumber penghasilan kepala desa dan perangkat desa.
Peraturan gubernur tersebut sebagai respon terhadap Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2014. Di dalam kedua produk hukum tersebut, tanah kas menjadi sumber pendapatan desa yang diterima dan disalurkan melalui rekening kas desa dan penggunaannya ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Itulah yang melatarbelakangi diskusi “Tanah Kas Desa: Tinjuan Kritis atas Peraturan Gubernur (Pergub) DI Yogyakarta Nomor 112 Tahun 2014” yang diselenggarakan oleh Satunama di Ruang Redaksi Tribune Jogja, Selasa (5/5/2015). Hadir sebagai Pembicara sejarawan UGM, Prof. Dr. Suhartono W Pranoto dan Dosen Agraria Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta, Dr Hari Supriyanto.
Menurut Suhartono, tanah dan lurah atau kepala desa ibarat dua sisi mata uang. Tanah, bagi lurah tidak hanya dimaknai dalam bentuk fisiknya tetapi juga berkaitan dengan wibawa seorang pemimpin. Dalam masyarakat feodal, tanah memengaruhi kuasa seorang perangkat desa. Perubahan terhadap pengaturan atau status tanah juga akan menimbulkan peran perangkat desa.
“Kata Max Webber, tanah itu sumber kekuasaan dan kesejahteraan,” ujar Suhartono.
Guru besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM ini memberikan pandangannya tentang “Transformasi Sosio-Historis atas Pergub No. 112/2014”. Sejarah tanah Kasultanan Ngayogyakarta mengikuti Kitab Manawa menyebutkan “sakurebing langit lan salumahing bumi kagunganing nata”. Artinya, segala hal yang berada di bawah langit dan di atas bumi adalah milik raja. Prinsip tersebut menunjukkan betapa absolutnya kekuasaan sultan.
Namun demikian, dalam menjalankan pemerintahan, sultan dibantu oleh priyayi (birokrat) dan sentana (aristokrat). Untuk membayar pranata pemerintahannya, sultan memberikan sebidang tanah yang disebut lungguh. Dalam mengerjakan tanah lungguh, sentana dan priyayi mengangkat seorang bekel (kepala desa) dan diperkuat dengan piagem atau kekancingan.
“Dalam sistem feodal, seorang bekel menjadi mediator antara pemegang lungguh dengan para sentana dan priyayi. Kuasanya yang besar di wilayahnya membuatnya disebut sebagai ratu cilik. Yang sering terjadi, Bekel mengeksploitasi tanah dan yang menjadi korbannya adalah petani penggarap,” terang penulis Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta, 1830-1920 ini.
Pada sesi selanjutnya, Hari Supriyanto meninjau dari segi hukum antara PP 43/2014 dan Pergub 112/2014. Menurutnya antara PP 43/2014 dan Pergub 112/2014 bertolakbelakang. Di dalam PP 43/2014 tanah kas desa menjadi milik desa dan perangkat digaji dengan uang. Sementara dalam Pergub, tanah lungguh sebagai bagian dari tanah desa menjadi sumber penghasilan bagi perangkat desa. Ditambah, dalam Pergub 112/2014 menyebutkan pula tanah pengarem-arem atau tanah yang diperuntukkan bagi perangkat desa yang sudah pensiun. Aturan yang tidak ada dalam UU Desa maupun PP 43/2014.
Baron Nurcahyo, Sekretaris Desa Bangunharjo menanyakan tentang sertifikasi tanah desa. Dalam Pergub 112/2014 sertifikasi tanah desa diatasnamakan Kasultanan dan Kadipaten. Hal ini berbeda dengan peraturan sebelumnya yang menyebutkan bahwa sertifikasi tanah atas nama desa. Sementara, Tri Wahyu dari Indonesia Court Monitoring (ICM) Yogyakarta menanyakan apakah Pergub juga mengatur tentang transparansi dan pengawasan tentang pemanfaatan tanah desa.