Sawangan- Ketergantungan pada pembelian pupuk, baik yang organik maupun yang kimia, sebenarnya tidak perlu terjadi. Petani yang memiliki hewan ternak sebenarnya memiliki aset yang sering tidak diperhitungkan. Tletong (Jawa) atau kotoran sapi sebenarnya adalah sumber daya pupuk yang sangat baik untuk tumbuhan pertanian. Begitu juga air seni sapi yang bisa dijadikan urea organik. Hanya pertanian kita sudah sangat tergantung pada pupuk kimia yang diperjualbelikan sehingga aset tersebut kerap diabaikan.
Demikian petikan diskusi pembuka kegiatan pemulihan pertanian korban letusan Gunung Merapi yang diselenggarakan oleh Infest Yogyakarta dan didukung oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam-NU) Bantul di dusun Treko, Kapuhan, Sawangan, Magelang. Pertemuan pertama belajar bersama pertanian organik ini dimulai dengan sesi pemetaan potensi lokal sebagai sumber bahan dasar pengelolaan pertanian.
Muhyidin (41), fasilitator dalam kelgiatan tersebut, memetakan pelbagai potensi lokal yang dapat dipergunakan sebagai bahan baku pupuk dan racun untuk pertanian. Dengan mengambil pelbagai sumber dari alam yang telah tersedia, bahan baku tersebut kesemuanya dapat dikategorikan sebagai bahan organik.
Lugas berbahasa Jawa, Muhyidin turut memperkenalkan pula konsep pertanian berkelanjutan (Permaculture) dengan memetakan konsep keseimbangan dalam pengelolaan lahan pertanian. Sistem alamiah ini telah putus sejak bahan kimia digunakan sebagai bahan baku pengelolaan tanaman pertanian. Pada konsep ini, setiap elemen dalam lingkungan pertanian perlu diamati dan dipertahankan. Hal ini tentu sedikit berbeda dengan konsep pertanian kimiawi yang kerap menghabisi beberapa spesies hewan kecil di lingkungan pertanian.
Upaya mempertahankan siklus alam dan menghindari pemusnahan salah satu rantai makanan tersebut juga merupakan bagian dari pelestarian. Hilangnya satu jenis organisme mikro atau salah satu jenis hewan predator dalam siklus lingkungan dapat mengganggu sistem pertanahan diri alam yang secara alamiah telah terbentuk. Petani tidak seharusnya menghabisi salah satu jenis hewan atau predator, tetapi mereka bisa melakukan pengendalian.
“Kalau salah satu rantai alam ini putus, maka yang mncul nanti ketidakseimbangan. Akibatnya sepeti wabah wereng yang tidak terkendali,” jelas Muhyidin.
Usai sesi pemetaan, petani diajak untuk bergotong-royong membangun beberapa tempat penampungan air seni dan kotoran sapi. Penampungan ini akan digunakan sebagai tempat pengolahan kotoran sapi menjadi ragi pupuk, dan urea.
Penampungan ini dibuat dari semen yang dibentuk tabung. Bahan dasar ini dapat dibeli dalam bentuk gorong-gorong semen. Wadah ini digunakan untuk menampung kotoran kotoran sapi yang keluar dari kandang. Wadah pertama digunakan untuk menampung kotorang yang keluar langsung dari kandang.. Sedangkan wadah kedua dgunakan untuk menampung kotoran dari wadah pertama yang telah didinginkan.
Sebagai contoh, pada kegiatan ini, hanya dibuat satu pusat penampungan di salah satu rumah warga. Selanjutnya warga akan membuat beberapa pusat tampungan lainnya. Pada sesi minggu berikutnya, hasil tampungan tersebut akan digunakan sebagai bahan praktek pembuatan ragi pupuk kandang. (Fika)